Kham jama-jama dukung kalau ya tetap jaya, sifatni ya panulung, jalma khedik jak agama. Minak Inton dang bingung, tutukh goh Khadin Jaya, ya jalma ne panghubung khek monekh bijaksana.
Artinya, kita sama-sama mendukung kejayaannya, sifatnya yang penolong dan dekat dengan agama. Minak Intan jangan bingung, ikuti saja Raden Jaya, dia manusia penghubung yang bijaksana.
Penggalan kalimat itu dibacakan Raden Dulu pada prosesi pemberian gelar adat (adok) kepada Tommy Muhamad Nur yang mendapat gelar Raden Mas Jaya di Lampung dan Rusnayati, istrinya, yang mendapat gelar Minak Intan Berlian oleh para pemuka adat dari Marga Punduh ini termasuk langka. Tradisi ini sudah dimulai sejak tahun 1420
.
Menurut Raden Dulu, salah satu pemuka adat marga, sepanjang 600 tahun atau enam abad keberadaan Marga Punduh di Punduhpidada, marga ini baru dua kali memberikan gelar adat. Yang pertama justru untuk orang luar yang berjasa di bidang pendidikan. Oleh sebab itu, prosesi pemberian gelar adat Marga Punduh terkesan sangat eksklusif dan tertutup.
Pemberian adat yang berlangsung Minggu (21-11) ini berlangsung di Desa Maja sebagai desa adat tertua di Punduhpidada, dihadiri pemuka adat dari seluruh Kemargaan di Lampung.
"Untuk orang luar, kami hanya memberikan kepada satu orang, itu juga karena dia berjasa, khususnya dalam merintis dunia pendidikan di tujuh desa yang masuk dalam Kemargaan Punduh ini," ujar Raden Dulu.
Menurut dia, gelar adat Marga Punduh hanya diberikan kepada keturunan Marga Punduh. "Kalau pemuka adat tidak berkenan, walaupun yang ingin mendapatkan gelar sudah menyiapkan materi berlebihan, pemberian gelar tak akan pernah ada," kata Raden Dulu
.
Menurut M. Nawawi, wakil saibatin (pemimpin Marga Punduh), yang didampingi Indera Gandhi, gelar Minak Khadin, menyebut Marga Punduh dipimpin secara turun-temurun oleh keluarga dari saibatin. "Saat ini Marga Punduh dipimpin Nurdiansyah dan akan diteruskan kepada keluarganya secara turun-temurun dari pemimpin Marga Punduh yang pertama kali datang ke sini, yakni Saibatin Purba Ningrat, berasal dari Kerajaan Skala Brak, di Lampung Barat, sekitar tahun 1420. Sampai sekarang pedang perak peninggalan Saibatin Purbaningrat masih tersimpan sebagai keramat marga," kata M. Nawawi.
Raden Dulu juga menambahkan pemberian gelar adat kepada Tommy Muhamad Nur dan istrinya ini didasarkan pada garis keturunan Marga Punduh yang dimiliki Tommy Muhammad Nur. Tommy merupakan keturunan erat dari dua tokoh penyebar agama Islam di Punduhpidada, yakni Syekh Abdul Fatah Naqsa'bandiah dan Syekh Abdul Rauf Naqsa'bandiah. "Gelar Raden Mas Jaya di Lampung yang kami berikan ini memiliki makna keberhasilannya yang telah mengharumkan nama Marga Punduh. Gelar Raden adalah gelar tertinggi setelah saibatin sebagai pemangku adat," kata dia
.
Tommy Muhamad Nur yang mendapat gelar Raden Mas Jaya di Lampung mengaku pemberian gelar adat ini adalah anugerah dari para pemuka adat Marga Punduh meskipun dia keturunan langsung dari dua tokoh penyebar agama Islam di Marga Punduh ini.
Lampung, HMINEWS- PERIODE SALIM GROUP (1990-2001), PT Indolampung Perkasa (PT ILP) adalah salah satu perusahaan yang tergabung dalam PT Sugar Group Companies (PT SGC), yang terdiri dari PT Gula Putih Mataram (GPM), PT Indolampung Distillery (ILD), PT Sweet Indolampung (SIL), dan PT Indolampung Perkasa (ILP), yang saham-sahamnya dikuasai dimiliki oleh PT Eka Primaguna Perkasa (EPP) dan PT Inti Petala Bumi (IPB) atau lebih dikenal dengan nama SALIM GROUP.
Sebagai salah satu anggota SGC, ILP memperoleh izin lokasi dan pembebasan tanah seluas ±43.048 ha untuk perkebunan tebu dan pabrik gula, yang terletak di desa Penawar, Desa Gedung Aji, dan Desa Gunung Tapa, Kecamatan Menggala, Kabupaten Lampung Utara, sebagaimana tertuang dalam SK Gubernur Nomor G/232/BPN/HK/91, tanggal 18 Juni 1991, kemudian diperpanjang,n dan selanjutnya DICABUT dan diterbitkan izin Lokasi yang baru oleh Kantor BPN Lampung Utara.
Status areal tanah seluas ±43.048 ha tersebut adalah terdiri dari:
Tanah Ulayat Masyarakat Hukum Adat Buai Aji (Penawar, Gedung Aji, dan Gunung Tapa);
Tanah Hutan Produksi Register 47 Way Terusan (Hutan Adat), selanjutnya disebut Tanah Eks Register 47.
Khusus untuk areal yang berasal dari Tanah Register 47 untuk mendapatkan Hak Guna Usaha (HGU), PT ILP mengajukan permohonan Pelepasan Kawasan Hutan Produksi Register 47 Way Terusan kepada Menteri Kehutanan dan dikabulkan seluas ±11.880 ha, sebagaimana tertuang dalam SK Menhut No 24/Kpts-II/1998, tanggal 9 Januari 1998.
Atas penguassaan Tanah Eks Register 47 tersebut di atas menjadi problem (kasus) tersendiri karena sampai saat ini kompensasi hak-hak keperdataan yang diberikan PT ILP kepada masyarakat Hukum Adat belum diselesaikan secara tuntas, sementara HGU atas tanah ini telah diterbitkan oleh BPN tahun 2004 kepada PT ILP/GPA dan kepada PT Mulia Kasih Sejati (MKS) pada tahun 2006
Untuk areal tanah yang berasal dari tanah ulayat tanpa sepengetahuan masyarakat hukum adat, ILP telah memperoleh HGU dari BPN seluas ±21.401,40 ha sebagaimana tertuang dalam Surat Keputusan Menteri Agraria/Kepala BPN Nomor 78/HGU/BPN/95, tanggal 20 November 1995 dan sertifikat HGU nomor 39/1996, tanggal 26 November 1996.
Walaupun areal tanah tersebut di atas telah bertitel HGU, akan tetapi ILP tidak mengolahnya menjadi perkebunan tebu, hal ini mungkin disebabkan karena:
Sebagaian besar areal tanah tersebut terdiri dari rawa-rawa yang cukup dalam, rata-rata kedalamannya 1 (satu) meter bahkan lebih, dengan demikian tidak bisa langsung ditanami tebu, sehingga tidak perlu diberikan ganti rugi kepada masyarakat, sebab HGU nya bisa diterbitkan dengan mudah oleh BPN, karena yang diperlukan oleh SGC padan saat itu adalah buku sertifikatnya, bukan mengolah areal tanah tersebut menjadi perkebunan tebu untuk disesuaikan dengan peruntukannya.
Hal tersebut di atas membuktikan bahwa PT ILP melakukan PEMBIARAN terhadap masyarakat yang melakukan aktifitas/kegiatan mencari nafkah di dalam areal tanah ini, seperti bertani nyapah (membuka sawah), mencari ikan di lebung, mengambil kayu gelam, rotan, menggembalakan kerbau, dan alin sebagainya. Dengan kata lain hak-hak ulayat yang melekat di atas areal ini tetap bebas dimanfaatkan oleh masyarakat huhkum adat sebagaimana yang dilakukan sejak dahulu kala secara turun temurun.
Tindakan apa-apa yang dimaksud di atas juga termasuk tindakan memberikan ganti rugi kepada masyarakat hukum adat atas tanah ulayat tersebut, baik terhadap tanah ulayat yang telah dimiliik secara individu, maupun tanah ulayat yang dimilki masyarakat hukum adat secara umum.
PENGAMBILALIHAN SGC OLEH BPPN
Pada tahun 1998 terjadi krisis ekonomi dan politik di Indonesia, hal ini mengakibatkan masyarakat beramai-ramai mengambil dananya yang tersimpan di Bank BCA milik keluarga Salim. Untuk mengatasi kekurangan dana akibat kejadian tersebut, SALIM GROUP terpaksa meminta bantuan pemerintah, dan diberilah berupa Bantuan Likuiditas Bank Indonesia (BLBI) sebesar ±57 Triliun rupiah dengan jaminan seluruh aset perusahaan yang dimiliki oleh SALIM GROUP.
Pada saat BLBI jatuh tempo, SALIM GROUP tidak mampu mengembalikan pinjaman tersebut, sehingga seluruh asetnya disita oleh negara melalui Badan Penyehatan Perbankan Nasional (BPPN), sebagaimana tertuang dalam Master Settlement and Acquisition Agreement (MSAA) antara Soedono Salim, Anthoni Salim, dan Andree Salim dengan BPPN tanggal 21 September 1998.
Salah satu aset yang dimiliki oleh SALIM Group adalah beberapa perusahaan yang tergabung dalam SGC, yakni PT GPM, PT ILD, PT SIL, PT ILP yang saham-sahamnya dimiliki oleh EPP dan IPB.
Di dalam daftar lampiran MSAA antara Soedono Salim, Anthoni Salim, dan Andree Halim dengan BPPN tanggal 21 September 1998, salah satu aset SGC yang diserahkan berupa tanah yang dimiliki/dikuasai/digunakan oleh ILP, yaitu areal tanah HGU seluas ±21.401,40 ha dalam kondisi sebagai berikut:
No
Luas (ha)
Keterangan
1.
800,00 ha
Ditanami tebu oleh PT ILP
2.
1.400,00 ha
Ditanami tebu oleh PT SIL
3.
253,00 ha
Pabrik gula dan fasilitasnya (HGB No. 1)
4.
19.000,00 ha
Squarred area off (digarap masyarakat)
PENJUALAN (PELELANGAN) ASET SGC OLEH BPPN
Setelah negara melalui BPPN berhasil mengambil alih aset SGC (PT GPM,PT ILD, PT SIL, PT ILP), BPPN membentuk dan/atau menugaskan perusahaan pengelola aset negara yaitu PT Holdiko Perkasa (Holdiko).
Kemudian mulai pada bulan September 2001 Holdiko menawarkan SGC kepada calon investor yang berminat, sebagaimana tercantum dalam Preliminary Information Memorandum dan Information Memorandum (Info Memo).
Dalam Info Memo tersebut disebutkan bahwa yang dijual adalah induk perusahaan, yaitu PT EPP dan PT IPB, sebagai pemilik saham 4 (empat) perusahaan yang tergabung dalam PT SGC tersebut di atas.
Realisasi penawaran PT SGC terjadi tanggal 29 November 2001 sebagaimana tertuang dalam Conditional Share Purchase and Loan Transfer Agreement (CSPLTA) antara PT Holdiko Perkasa, PT Gemah Ripah Pertiwi, dan PT Garuda Pancaarta (GPA) sebagai pemenang lelang.
Dalam CSPLTA yang telah ditandatangani tanggal 29 November 2001, di sebutkan bahwa tanah yang dimiliki dan/atau dikuasai oleh PT SGC seluas ±47.282,79 ha.
Ternyata dari luas tersebut ada sebagian tanah yang belum tuntas terkait dengan ganti ruginya oleh SALIM GROUP, karena padan saat itu areal tanah yang berasal dari eks Register 47 seluas 11.880 ha yang dikuasai PT ILP sesuai dengan SK Menhut Nomor 24/Kpts-II/1998 tanggal 9 Januari 1998 HGU nya belum diterbitkan oleh BPN, hal ini karena ada tuntutan dari Masyarakat Hukum Adat, bahwa PT ILP diwajibkan memberikan kompensasi hak-hak keperdataan kepada Masyarakat Hukum Adat sesuai dengan ketentuan pasal 68 ayat (3) UU No 41 Tahun 1999 tentang Kehutanan.
Pada tanggal 12 Desember 2001 atas permintaan PT GPA dilakukan CSPLTA, yang intinya BPPN diminta oleh PT GPA untuk memberikan kesanggupan terbaiknya (best effort) dalam rangka mengupayakan tanah eks Register 47 seluas ±52.389 ha yang telah dilepas oleh Menteri Kehutanan RI masing-masing dengan SK Nomor 25/Kpts-II/1998, seluas 23.980,20 ha atas nama PT Indolampung Buana Makmur (ILBM) dan SK Nomor 26/Kpts-II/1998 seluas 28.408,76 ha atas nama PT Indolampung Cahaya Makmur (ILCM) agar dapat diterbitkan HGU nya atas nama PT GPA.
Pada tanggal 16 Januari 2002, ditandatanganilah SURAT PERJANJIAN PENGALIHAN SAHAM milik PT HOLDIKO, PT EPP, dan PT IPB sebagai pemegang saham PT SGC (PT GPM, PT ILD, PT SIL, dan PT ILP) dengan PT GPA SEBAGAI PEMENANG LELANG. Dengan demikian sejak tanggal 16 Januari 2002, seluruh aset milik PT SGC resmi menjadi milik PT GPA, dan PT SGC mulai dikelola oleh pemilik dan manajemen yang baru.
Periode PT Sugar Group Company (SGC) di Bawah Kendali PT Garuda Pancaarta (GPA), Pada tanggal 29 Januari 2002, manajemen baru SGC melalui Kantor Konsultan Hukum Dwi Soeharto Maramis Djajadireja mengeluarkan pengumuman kepada pihak-pihak yang berkepentingan, bahwa transaksi-transaksi, klaim-klaim, atau tagihan-tagihan yang belum tercatat dalam laporan keuangan yang telah diaudit 31 Agustus 2001 dari SGC agar terhitung sejak tanggal pengumuman ini untuk mengajukan korespondensi secara tertulis kepada GPA di Wisma GKGB, 38th Floor, Jl Jenderal Sudirman No. 28 Jakarta, 10220.
Mendengar pengumuman tersebut, masyarakat yang merasa tuntutannya belum dibayar semasa SGC berada di tangan SALIM GROUP, melakukan tuntutan kembali dan tetap memblokir lokasi agar tidak ditanami tebu sebelum dilakukan pembayaran.
Melihat keadaan ini, SGC membentuk PAM SWAKARSA untuk mengusir masyarakat dari tanah yang didudukinya agar dapat ditanami tebu kembali oleh perusahaan.
Setelah masyarakat terusir dari tanah miliknya sendiri oleh SGC dengan menggunakan PAM SWAKARSA, selanjutnya perusahaan membuat parit pembatas di sekeliling kebun dan kantor dengan maksud agar masyarakat yang akan melakukan unjuk rasa tidak dapat masuk kebun dan mendekati kantor perusahaan.
Melihat kebrutalan PAM SWAKARSA (yang direkrut SGC dari unsur dan oknum-oknum yang diduga preman dan oknum-oknum aparat) di lapangan dalam menghadapi masyarakat pemilik tanah, sejumlah tokoh masyarakat dan aparatur pemerintah Kecamatan Gedung Meneng melaporkan hal ini kepada pihak yang berwajib. Namun pihak SGC tidak peduli dan PENGUSIRAN serta PENGANIAYAAN oleh PAM SWAKARSA terhadap masyarakat Bakung, Gunung Tapa, Gedung Meneng, dan Teladas selaku pemilik tanah (umbul) jalan terus tanpa terkendali.
Tindakan anarkis PAM SWAKARSA sedikit mereda setelah Kapolda Lampung Brigjen Pol Sugiri turun tangan setelah terjadi PEMBUNUHAN tarhadap dua orang ayah dan anak (Rebo/47 tahun dan Sodri/21 tahun) pada tanggal 19 November 2002. Tapi proses penyelesaian ganti rugi atas tanah-tanah masyarakat yang diklaim semasa SGC di bawah kendali SALIM GROUP tidak juga diselesaikan oleh GPA.
Untuk mengatasi kebuntuan tersebut, beberapa perwakilan masyarakat hukum adat (Gunung Tapa, Gedung Meneng, dan Teladas) mengirim surat DPR RI untuk memohon bantuan penyelesaian kasus tanah tersebut.
Pada tanggal 27 Agustus 2003 perwakilan masyarakat tersebut diundang untuk melakukan dengar pendapat umum (hearing) dengan Pansus Penyelidikan DPR RI terhadap Kasus Pertanahan Secara Nasional di gedung Nusantara II, lantai 3 ruang Rapat Pansus
Hadir pada saat itu Kepala BPPN Nasioanl, Kakanwil BPN Lampung, Wakil Pemerintah Provinsi Lampung, dan Kabupaten Tulang Bawang, dan Direksi GPA dan Pengacaranya, sementara dari pihak SALIM GROUP tidak hadir.
Menanggapi hasil hearing tersebut, pada tanggal 25 September 2003 Rapat Pleno Pansus Penyeledikan DPR RI terhadap Kasus Pertanahan Secara Nasional membuat keputusan yang merekomendasikan, dikutip: Agar PT Garuda Pancaarta menyelesaikan tuntutan ganti rugi kepada masyarakat dan kewajiban lainnya sesuai dengan peraturan perundang-undangan yang berlaku atas areal yang dikuasainya.
Kemudian disusul pada tanggal 17 Desember 2003 Rapat Pleno Pansus Penyelidikan DPR RI terhadap Kasus Pertanahan Secara Nasional membuat keputusan kembali dan merekomendasikan, dikutip: Agar pihak-pihak yang berhak atas tanah-tanah eks register 47 sebagaimana diuraikan dalam butir (2) memutuskan, segera menyelesaikan tuntutan ganti rugi kepada masyarakat yang memang berhak berdasarkan hukum atas eks register 47 tersebut dan kewajiban lainnya sesuai dengan peraturan perundang-undangan yang berlaku.
Keterangan: Tanah eks Regiter 47 merupakan tanah yang pada tahun 1958 berdasarkan SK Penguasaan Perang Pusat AURI Nomor: 36/PS.Perpu/AU/58 tanggal 15 Oktober 1958 telah ditetapkan areal seluas ±133.000 ha sebagai pusat latihan tempur TNI AU RI. Kemudian dengan Instruksi Gubernur Lampung No: INST/011/G-IV/88 tanggal 17 September 1988, masyarakat dilarang untuk memasuki wilayah tersebut. Lokasi pusat latihan tempur kemudian dihapuskan dengan Keputusan Panglima Angkatan Bersenjata RI No: SKEP.1643/X/1991 tanggal 7 Oktober 1991. Tanah tersebut berasal dari kawasan Hutan Reg.No 47, kemudian dihapuskan dengan SK Menteri Kehutanan Nomor: 24,25,26/KPTS-II/1998 tanggal 9 Januari 1998 diberikan kepada PT SIL Group.
Sampai saat ini ganti rugi/kompensasi sebagaimana direkomendasikan Pansus DPR RI tersebut TIDAK DILAKSANAKAN oleh PT GPA secara tuntas, antara lain sebagai berikut:
A. PT Garuda Pancaarta (GPA)
Tanah eks Register 47 yang dikuasai PT ILP seluas ±11.880 ha sampai saat ini baru diselesaikan kompensasi hak-hak keperdataan kepada masyarakat adat seluas ±5.730 ha pada bulan Oktober 2004. Sementara lokasi ini telah di HGU kan oleh BPN tahun 2004 atas nama ILP/GPA seluas ±8.500 ha, dan sisanya seluas ±3.380 ha dijual PT ILP kepada PT Mulia Kasih Sejati (MKS) dan terbit pula HGU atas nama PT MKS yang diterbitkan oleh BPN pada tahun 2006 seluas ±2500 ha. Dengan demikian tanah eks register 47 masih tersisa seluas ±880 ha belum berstatus.
Tanah ulayat (adat) seluas ±21.401,40 ha yang telah bertitel HGU atas nama PT ILP sampai saat ini belum pernah dilakukan penyelesaian ganti ruginya kepada masyarakat hukum adat
.
B. SALIM GROUP
Tanah eks Regiter 47 atas nama PT ILCM seluas ±23.980,20 ha (SK Menhut No 25/Kpts-II/1998 tanggal 9 Januari 1998), dan Tanah eks Register 47 atas nama PT ILBM seluas 28.498,76 ha (SK Menhut Nomor 26/Kpts-II/1998 tanggal 9 Januari 1998).
Dari total luas kedua lokasi tersebut (52.388,96 ha), pada tahun 2002 baru diberikan kompensasi hak-hak keperdataannya kepada masyarakat hukum adat seluas ±28.410 ha, masing-masing untuk Gedung Meneng 7.157 ha, Teladas 9.167 ha, Gunung Tapa 8.586 ha dan Seputih Mataram 3.500 ha. Dengan demikian sisa yang belum diberikan kompensasi hak-hak keperdataannya seluas 23.978,96 ha.
Tanah Ulayat (adat) yang di HGU kan BPN tanpa sepengetahuan Masyarakat Hukum Adat atas nama PT Indolampung Cahaya Makmur (ILCM) seluas 12.260,09 ha (SK. Kepala Nomor 150/HGU/BPN/1997, tanggal 9 Desember 1997 jo Sertifikat HGU Nomor 1/Desa Gunung Tapa, Gedung Meneng, tanggal 25 Maret 1998. Dan sampai sekarang lokasi ini tidak pernah diberikan ganti rugi, sebagian tetap dikuasai masyarakat adat selebihnya ditelantarkan karena berupa rawa-rawa tidak cocok untuk ditanami tebu.
PENGGUSURAN TANAH ULAYAT MASYARAKAT ADAT OLEH OLEH PT INDOLAMPUNG PERKASA (ILP)
Pada bulan September 2005 dengan pengawalan ketat PAM SWAKARSA, PT ILP melakukan penggusuran dan penimbunan atas areal tanah rawa-rawa hak ulayat (adat) masyarakat adat yang terletak dan/atau diapit Kampung Bakung dan Gunung Tapa sampai ke Bantaran Sungai Tulang Bawang, juga termasuk lokasi Dusun Gunung Tapa Baru dan Pemakaman (kuburan) masyarakat setempt, dan melarang masyarakat melakukan kegiatan dalam lokasi tersebut, bahkan beberapa orang masyarakat Gunung Tapa dilaporkan, kemudian ditangkap dan ditahan Polisi dengan alasan mencuri kayu gelam di lokasi PT ILP.
Atas kejadian tersebut masyarakat Gunung Tapa melakukan protes secara langsung kepada PT ILP tetapi aksi ini tidak berhasil karena dihalau oleh PAM SWAKARSA, dan akhirnya masyarakat melakukan unjuk rasa ke Pemkab Tulang Bawang dan menurunkan tim ke lapangan, tetapi hingga saat ini hasil kerja tim tersebut tidak pernah terdengar gaungnya.
Penggusuran yang mereka lakukan mereka dasarkan kepada HGU atas nama PT ILP seluas 21.401,40 ha sesuai dengan SK Menteri Negara Agraria/Kepala BPN No 78/HGU/BPN/95 Tanggal 20 November 1995 dan telah terdaftar dengan sertifikat HGU Nomor 39/1996 Tanggal 26 November 1996.
KESIMPULAN
Penerbitan SK Menteri Agraria/Kepala BPN Nomor 78/HGU/BPN/1995 tanggal 20 November 1995 tentang Pemberian HGU atas nama PT Indolampung Perkasa (ILP) atas tanah seluas 21.401,40 ha yang tercantum dalam Sertifikat HGU Nomor 39/1996 Tanggal 20 November 1996 TELAH NYATA-NYATA PENERBITANNYA CACAT HUKUM ADMINISTRATIF serta BERTENTANGAN DENGAN KETENTUAN PERATURAN PERUNDANG-UNDANGAN YANG BERLAKU DI BIDANG PERTANAHAN NASIONAL, antara lain sebagai berikut:
Penerbitan izin lokasi atas areal tanah tersebut tidak sesuai dengan peruntukannya, yaitu UNTUK PERKEBUNAN TEBU, mengingat hampir sebagian besar areal tanah yang dimaksud dalam SK Gubernur Kepala Daerah Tingkat I Provinsi Lampung Nomor G/232/BPN/HK/91 tanggal 18 Juni 1991 dan beberapa perubahannya adalahrawa-rawa.
Sejak HGU diterbitkan oleh BPN pada tahun 1995 sampai dengan tahun 2005 lebih kurang 10 (sepuluh) tahun areal tanah ini ditelantarkan oleh PT ILP tidak ditanami tebu.
Penguasan areal tanah tersebut oleh PT ILP tanpa mengindahkan Hak-hak Ulayat masyarakat hukum adat yang melekat pada areal tanah tersebut secara turun temurun, dengan kata lain sejak PT ILP/SGC dimilki atau di bawah kendali SALIM GROUP dan sampai sekarang dimiliki dan di bawah kendali PT GPA, TIDAK PERNAH MEMBERIKAN GANTI RUGI kepada masyarakat hukum adat secara umum yang berhak atas areal tanah tersebut, hal ini mengingat hampir sebagian besar tanah tersebut adalah milik anggota masyarakat hukum adat Buai Aji: Gedung Aji, Penawar, dan Gunung Tapa, dan hanya sebagian kecil yang dimiliki oleh anggota masyarakat hukum adat secara individu.
Dengan demikian penerbitan Surat Keputusan Menteri Negara Agraria/Kepala BPN Nomor 78/HGU/BPN/95 tanggal 20 November 1995 proses penerbitannya CACAT HUKUM ADMINISTRATIF, dan karenanya dapat dibatalkan langsung oleh Kepala BPN tanpa melalui Permohonan sebagaimana diatur dalam Pasal 119, jo Pasal 104 ayat 1 dan 2, jo Pasal 105 ayat 1 dan 2, jobagi pasal 106 ayat 1 dan 2, jo pasal 107 Peraturan Menteri Agraria/Kepala BPN Nomor 9 Tahun 1999, tanggal 14 Oktober 1999.
Di samping itu, PT ILP juga telah menelantarkan areal tanah tersebut lebih kurang 10 (sepuluh tahun), dengan demikian telah melanggar Pasal 17 huruf e Peraturan Pemerintah Nomor 40 Tahun 1996 tentang Hak Guna Usaha, Hak Guna Bangunan, dan Hak Pakai atas Tanah, tanggal 17 Juni 1996, jo Peraturan Pemerintah Nomor 36 Tahun 1998 tentang Penertiban dan Pendayagunaan Tanah Terlantar tanggal 5 Maret 1998. (RP)
Catatan:
- Tanah eks Register 47 yang diperoleh PT ILBM dan PT ILCM tidak termasuk yang dijual oleh BPPN kepada PT Garuda Pancaarta sebagaimana penjelasan dalam MSAA
- Tapi apapun yang di lakukan oleh PT ILP dan PT ILBM masih sedikit membuat senang masyarakat adat setempat, karena Dua perusahaan tsb masih proakatif ikut melesatarikan Budaya, itu terlihat dari Simbol2 seperti Bangunan Pintu gerbaNG YANG MEGAH DENGAH lAMBANG SIGER....dan membangun beberapa Rumah adat atau gedung untuk kegiatan seni...